Rabu, 07 Agustus 2013

Redistribusi Ekonomi dalam Mudik Lebaran




Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, mudik Lebaran bisa dikatakan sebuah tradisi yang mutlak harus dilaksanakan. Begitu fenomenalnya aktivitas mudik Lebaran ini, hingga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla, menyebutnya sebagai mobilitas serentak penduduk yang jumlahnya hampir sama dengan penduduk Malaysia, bahkan lebih besar dari penyerbuan Normandia pada saat Perang Dunia II.

Karena itu, jangan berharap para pemudik dari tahun ke tahun jumlahnya akan menurun. Kendati diselimuti berbagai kendala pada tahun ini, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang dibarengi dengan naiknya tarif transportasi angkutan darat, laut dan udara, serta komoditas lainnya, namun semua itu tidak menyurutkan kaum pemudik untuk bersilaturahmi ke kampung halamannya. Sebab itu, cukup masuk akal jika hasil survei potensi mudik dari Kementerian Perhubungan yang dilakukan pada 12 kota utama di seluruh Indonesia mengungkapkan jumlah pemudik tahun ini diperkirakan mencapai 30 juta orang atau mengalami kenaikan 7-10 persen dibandingkan jumlah pemudik di tahun 2012 lalu.

Dari jumlah itu, pemudik terbanyak masih tetap terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera.
Apabila manajemen tradisi mudik Lebaran ini dapat dikelola dengan baik sudah tentu akan menggulirkan manfaat besar dan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian nasional. Paling tidak ada tiga esensi ekonomi dari tradisi mudik Lebaran kali ini.

Pertama, tradisi mudik Lebaran bukan sekadar migrasi massal secara komunal yang melibatkan sekitar sepuluh persen penduduk dalam rentang waktu sekitar dua minggu. Tidak juga sekadar ritual sibuk atau menjalankan amanah agama dalam melaksanakan tali silaturahmi dan merekatkan kekerabatan. Lebih dari itu, aktivitas mudik Lebaran (termasuk arus balik) akan menciptakan perputaran uang yang demikian besar dan cepat (velocity of money). Triliunan rupiah bakal berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke desa-desa dan perkampungan kecil. Tentu saja, secara agregat, nilai nominal uang di sini bukan hanya berbentuk tunai, namun juga bisa berbentuk barang yang dibeli seperti barang elektronik, pakaian jadi, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. 
Dalam pendekatan teori ekonomi, fenomena seperti itu disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Yakni, terjadinya perpindahan kekayaan (baca: uang) dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu yang lain. Memang belum ada semacam penelitian khusus dan perhitungan komprehensif menyangkut masalah perputaran uang yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas mudik Lebaran ini. Namun, berdasarkan prediksi Bank Indonesia, saat bulan Ramadan hingga libur panjang Lebaran di tahun ini, kebutuhan masyarakat akan meningkat Rp 17,4 triliun atau mencapai Rp 103,1 triliun dengan kebutuhan uang pecahan besar Rp 93,4 triliun dan uang pecahan kecil Rp 9,7 triliun.

Menurut Ragimun (2010), redistribusi ekonomi dalam mudik Lebaran dapat dibedakan menjadi dua tipe pemudik, yakni tipe pemudik sektor informal berpenghasilan rendah dan tipe pemudik dari pekerja formal berpenghasilan lebih tinggi. Yang termasuk tipe pertama, antara lain penjual bakso, penjual jamu, pedagang kaki lima, kaum buruh, dan pembantu rumah tangga. Biasanya bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini adalah membelanjakan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang elektronik, pakaian baru, makanan, minuman, atau malah untuk memulai suatu usaha baru di kampung.

Sementara itu, untuk tipe pemudik kelompok kedua didominasi oleh profesi formal, seperti dokter, pengacara, bankir, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dan lain sebagainya. Adapun bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari pemudik tipe pertama. Hanya, ada bentuk-bentuk redistribusi lain yang juga dijalankan seperti membagi-bagikan uang kepada sanak saudara di kampung, menyewa tukang cuci, sopir pribadi, dan lain sebagainya.

Fakta di atas menunjukkan bahwa tradisi mudik memang akan menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar seperti Jakarta ke daerah-daerah yang pada gilirannya dapat menciptakan stimulus pertumbuhan ekonomi daerah melalui aktivitas produktif masyarakat. 

Pakar ekonomi sekaligus Staf Khusus Presiden (SKP) bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengemukakan, mudik lebaran telah berkonstribusi dalam menciptakan redistribusi pendapatan ke daerah-daerah, tumbuhnya investasi di daerah serta mendukung terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Mengutip prediksi Kementerian Perhubungan, Firmanzah menyebutkan, total pergerakan orang pada masa mudik Lebaran 2013 mencapai 30 juta orang. Lebih dari separuhnya, atau 55% di antara mereka, melakukan pergerakan dengan menumpang kendaraan pribadi dan 45% yang menggunakan angkutan umum.

Secara prosentase kumulatif jumlah pemudik tahun 2013 dibandingkan tahun 2012, mengalami kenaikan berkisar 6,7 persen, di mana pemudik diperkirakan mencapai 30 juta orang, baik yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia maupun para TKI di luar negeri.

“Ini sekaligus menunjukkan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, dengan semakin meningkatnya migrasi penumpang mudik dari kenderaan umum ke kendaraan pribadi,” terang Firmanzah seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, Senin (5/8/2013).

Ia memaparkan, ritual mudik lebaran tahun 2013 diperkirakan akan membawa dampak ekonomi yang besar bagi perekonomian di daerah. Setidaknya potensi dana yang mengalir ke daerah tahun ini diperkirakan mencapai Rp.90 triliun dari total pemudik yang mencapai 30 juta orang.

“Dana Rp 90 triliun ini mengalir baik dari pembarayan zakat, transportasi, konsumsi, belanja oleh-oleh, hingga kiriman untuk perbaikan rumah dan furniture-nya,” jelasnya.

Firmanzah menyebutkan, sesuai keterangan Bank Indonesia permintaan uang tunai pada setiap momen lebaran meningkat rata-rata double digit setiap tahunnya. Tahun ini, bank sentral mempersiapkan uang tunai mencapai Rp 103 triliun atau meningkat 20% dari tahun lalu sebesar Rp 80 trilun.

Persediaan Rp 103 triliun, lanjut Firmanzah, diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan uang tunai pada momen lebaran. Dari Rp 103 triliun, Jakarta diperkirakan menyerap sekitar Rp 31 triliun, sisanya Rp 22 triliun untuk Indonesia TImur dan Rp 50 trilun untuk Indonesia Barat.
Kedua, tradisi mudik Lebaran juga berpengaruh positif terhadap pembangunan infrastruktur. Tak jarang, tradisi musiman setiap tahun ini mengharuskan pemerintah turut campur tangan dalam upaya membuat kenyamanan dan keamanan para pemudik melalui misalnya perbaikan kondisi infrastruktur yang ada, mulai dari perbaikan pembangunan jalan darat, rel kereta api, jembatan, bandar udara, hingga pelabuhan laut. Dan juga kesiapan pemerintah dalam menambah moda armada angkutan serta frekuensi perjalanan. Hal ini tentu positif untuk sektor infrastruktur itu sendiri maupun sisi ketepatan daya serap anggaran.

Ketiga, aktivitas mudik Lebaran juga menjadi salah satu pemicu atau pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yakni melalui peningkatan konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarnya jumlah pemudik yang mencapai jutaan orang, sehingga nilai konsumsi secara agregat yang dihasilkan pun akan jauh lebih besar hingga mencapai ratusan triliunan rupiah. Jenis konsumsi yang terbilang besar jelang mudik Lebaran biasanya berupa pembelian sepeda motor, mobil, bahan makanan, telepon seluler (handphone), pakaian jadi, biaya komunikasi, dan lain sebagainya. 

Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahmad Ma'ruf  memprediksikan perpuatan uang masyarakat untuk konsumsi selama ramadhan dan lebaran di Indonesia mencapai Rp 83 Trilyun. Perputaran uang ini merupakan perputaran uang yang sangat tinggi dalam kurun satu bulan. Karenanya menurut dia, lebaran bukan merupakan pesta masyarakat, namun justru pesta para pemodal yang bisa menjual berbagai produk lebaran.
Diakuinya, provokasi iklan terkait produk lebaran semakin menggenjot tinghkat konsumsi masyarakat. Ironisnya, masyarakat Indonesia menjadi konsumtif saat ramadhan dan lebaran dijadikan sebuah tradisi yang terus dipupuk. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum pemodal untuk menggaet keuntungan secara maksimal. Peningkatan mobilitas dengan adanya mudik lebaran semakin meningkatkan sifat konsumsi masyarakat ini. Hal ini juga dipicu dengan adanya kebijakan tunjangan hari raya (THR).

Sekadar gambaran, pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I - 2013 mencapai 6,02 persen (year on year). Dari angka itu, konsumsi domestik (rumah tangga) menjadi salah satu komponen pendorong pertumbuhan ekonomi dengan capaian 5,17 persen. Dari fakta ini, berarti mudik Lebaran bisa dijadikan akselerator dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi 2013, agar dapat melampaui target dalam APBN Perubahan sebesar 6,3 persen.

MENYOAL DAGING (SAPI)



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pergerakan harga daging sapi terus mengalami peningkatan mendekati Lebaran. Jika kemarin harga daging sapi sudah mencapai Rp 110 ribu per kilogram, kini harganya terus naik hingga mencapai Rp 130 ribu per kilogram. Sedangkan harga ayam potong dari yang semula hanya Rp 40 ribu per ekor, kini melonjak jadi Rp 50 ribu per ekor.

Dede (48) pedagang daging sapi di Pasar Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, mengatakan naiknya harga daging sapi lokal sudah terjadi sejak tiga hari lalu. “Hari minggu harga daging sapi masih mencapai Rp 110 ribu per kilogram. Saat ini sehari jelang Lebaran kembali naik  antara Rp 125-130 ribu per kilogram,” ujar Dede, Rabu (7/8) seperti dilansir situs berita jakarta.

Dede mengaku untuk kebutuhan Lebaran ia menambah stok daging sapi, dari yang pada hari biasa hanya 50 kilogram kini menjadi 150 kilogram. Tambahan stok itu, karena meski harganya mahal, pembeli masih banyak yang mencari. “Meski harganya naik tinggi, tapi tetap saja banyak yang beli,” terang Dede.

Hal senada juga diutarakan Maskuri (40) pedagang daging sapi di Pasar Kopro, Slipi. Menurutnya tingginya harga daging sapi yaitu sebesar Rp 125 ribu per kilogram, tak membuat ia dan rekan-rekannya mengurangi stok jelang Lebaran. “Hari biasa saya hanya menjual sebanyak 50 kilogram. Tapi jelang Lebaran nambah jadi 100 kilogram lebih ditambah bagian dalam dan kaki. Biasanya kalau pun ada sisa hanya sedikit antara 5 kilogram,” jelas Maskuri.

Langkah pemerintah menambah kuota impor daging sapi ternyata belum mampu menekan harga ke titik normal. Di beberapa daerah di Indonesia, harga daging sapi masih tergolong tinggi, di atas Rp 100.000 per kilo gram (kg).
Meski Bulog telah mengimpor sebanyak 5.000 ton daging sapi asal Australia, harga daging sapi hingga H-2 tak kunjung turun. Ketua Komite Daging Sapi (KDS) Sarman Simanjorang mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya harga daging sapi.

Salah satunya adalah ketidakpastian pemerintah menjamin daging lokal untuk menyuplai kebutuhan pasar. Pemerintah dianggap lamban mengantisipasi kebutuhan daging sapi menjelang Idul Fitri. Terakhir, total impor 5.000 ton sapi tidak berdampak signifikan menekan harga karena kedatangannya tidak sekaligus.
"Kedatangan sapi bakalan siap potong juga sudah terlalu mepet sehingga tidak bisa didistribusikan secara merata," jelas Sarman kepada wartawan, Rabu (7/8).

Menurut Sarman, seharusnya pemerintah sudah melakukan evaluasi kebutuhan daging sapi 3 bulan sebelum Ramadan. Jika daging lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar, maka alternatif daging impor dapat dilakukan, sehingga sebelum Ramadan sudah tersedia.

Sarman menuturkan, tidak heran jika harga daging sapi masih tinggi di pasaran. Sebab, operasi pasar yang dilakukan Bulog dinilai tidak optimal dan efektif. Seharusnya Bulog melakukan operasi pasar langsung ke pemukiman masyarakat, melalui kecamatan atau kelurahan," tegasnya.

Sementara itu  PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) (Persero) menjual daging sapi dalam kemasan seharga Rp 70.000 per Kg dengan merek Raja Daging. Bahkan daging ini diklaim lebih murah dari daging sapi impor versi Ahmad Fathanah yang dijual di atas Rp 90.000 per kg.

"Rp 20.000 lebih murah dari daging sapi berbasis Fathonah (Rp 90.000 per Kg). Sementara kita berbasis barokah," ucap Direktur Utama RNI Ismed Hasan Putro dengan nada canda pada acara peluncuran Raja Daging di Kantor Pusat RNI, Mega Kuningan Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2013).

Kenaikan Harga Daging Sapi juga dikeluhkan Pedagang. Para pedagang daging sapi di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, mengeluh harga jual daging yang terus menanjak. Mereka menyalahkan para spekulan daging, hingga dikaitkan dengan kasus korupsi kuota impor daging.
Aher, salah satu pedagang daging mengatakan, harga daging sapi mengalami kenaikan yang tidak wajar. Setelah sempat menyentuh Rp 90.000/kg, harga daging sapi stagnan di angka Rp 95.000/kg. Kemudian terus naik hingga puncaknya menjelang ramadan.
“Meningkat terus dan bergerak tidak wajar menjadi Rp 110.000/kg. Kalau harga tidak dapat ditekan, harga bisa mencapai Rp 120.000/kg menjelang lebaran,” kata Aher di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (18/07).
Dikatakan Aher, para pedagang  kesal karena omsetnya berkurang hingga menuduh teman dari mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Iskak itu penyebab dari tingginya harga daging.
“Kami sudah capek urus daging, daging terus. Ini ulahnya Ahmad Fatanah yang bisa atur-atur (harga) daging sampai tinggi seperti sekarang,” ujarnya.