Sabtu, 15 Juni 2013

Kenaikan Harga BBM (Tertunda), Daya Beli Melemah



Jakarta - Penundaan penaikan harga bahan Bakar Mentah (BBM) subsidi membawa imbas negatif pada perekonomian Indonesia.
Hal itu terbukti dari koreksi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika beberapa pekan terakhir. Bukan itu saja, penundaan penaikan harga BBM juga mengakibatkan market menjadi limbung, karena tidak adanya kepastian, baik dalam melakukan investasi, maupun berbisnis.

"Dampaknya sudah terlihat. Bukan hanya di pasar finansial, tapi sudah ke pasar becek juga. Di pasar sektor riil, itu yang kita perhatikan," ujar Pengamat Ekonomi Perbankan, David Sumual kepadaINILAH.COMdi Jakarta.

Akibat pelemahan nilai tukar rupiah, pelaku pasar pun memburu dolar AS. Meskipun kebanyakan hal ini dilakukan oleh pelaku pasar asing, “Mereka ambil profit taking karena beberapa sektor (saham) juga sudah cukup mahal," kata David.

Kebutuhan dolar untuk impor minyak, sampai saat ini sudah mencapai US$2-3 miliar. Itu belum termasuk bayar utang dan lain sebagainya.
Di sisi lain, eksportir juga masih ragu terhadap rupiah karena terus melemah. Akibatnya pelaku pasar hanya banyak berharap dari kebijakan Bank Indonesia. "Saya pikir daya beli yang paling berdampak, karena semakin tergerus," kata David.
Kenaikan harga BBM bersubsidi memang secara resmi belum diumumkan oleh pemerintah. Namun begitu pelaksanaanya agar segera dipercepat, karena hal itu mengganggu rencana bisnis pelaku usaha.

Pemerintah memperkirakan kenaikan harga BBM pada pertengahan bulan Juni ini. Hal itu menyusul masih dilakukannya pembahasan RAPBNP-2013 dengan Badan Anggaran DPR. Untuk melihat secara makro ekonomi, dampak dan program apa yang akan dijalankan oleh pemerintah. Bila rencana kenaikan itu akan dilakukan.

"Sebaiknya dipercepat, karena hal itu akan memudahan pengusaha dalam menjalankan bisnisnya. Tapi, dapat kami pastikan bahwa kenaikan harga itu akan mendorong kenaikan harga makanan dan minuman sebesar 5%," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Franky Sibarani kepadaINILAH.COMdi Jakarta.

Pemerintah rencananya akan menaikan harga BBM subsidi sebesar Rp1.500-Rp2.000 per liter. Namun, karena jenis solar lebih banyak digunakan untuk angkutan umum dan angkutan barang, kenaikannya akan lebih kecil dari harga premium. "Pengaruh ke biaya produksi tidak, tapi lebih kepada biaya distribusi. Kecuali untuk industri rumah tangga, baik biaya produksi maupun distribusi pasti terkena," ujar Franky.

Saat ini industri makanan dan minuman untuk kategori menengah ke atas telah menggunakan BBM non subsidi. Sementara bagi industri kecil, masih menggunakan BBM subsidi. Total pendapatan industri makanan dan minuman Indonesia 75% bergantung dari industri menengah ke atas. Sementara 25% hanya disumbangkan dari industri kecil.

Menteri Keuangan Chatib Basri memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan naik setelah 17 Juni 2013. Tentunya setelah ada persetujuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP 2013) oleh DPR.
"Tentunya setelah DPR menyetujui RAPBNP 2013 pada 17 Juni, nanti ada dokumen-dokumen yang harus ditandatangani oleh DPR. Tentunya kenaikan harga BBM itu segera setelah tanggal 17 Juni mendatang," kata Chatib saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (14/6/2013).
Saat ini pemerintah dan DPR sedang merampungkan pembahasan RAPBNP 2013, termasuk adanya persetujuan pemberian dana kompensasi kenaikan BBM.
Yakni dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun yang akan dibagikan kepada masyarakat miskin selama empat bulan berturut-turut setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. "Tapi soal tanggal pastinya, saya juga tidak tahu karena itu wewenang Presiden," ujarnya.
Saat ini harga BBM subsidi dijual Rp4.500 per liter. Kenaikan harga BBM subsidi dimaksudkan untuk menekan subsidi BBM yang mencapai Rp193,6 triliun tahun ini. Saat ini hingga hari ke 161, subsidi BBM sudah mencapai sekitar Rp132 triliun. Sekitar 10-20% diselundupkan, 80% yang ada dinikmati oleh orang mampu dan hanya sekitar 2-3% untuk kendaraan umum. Serta sekitar 50% dinikmati oleh orang mampu disekitar Jakarta. [ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar